Friday 12 September 2008

Semurah itukah harga dirimu, Nak?

Mungkin tulisan ini dibuat karena saya iri dengan beberapa teman yang lebih beruntung dari saya, but who knows? Final judgement-nya ada di anda para pembaca

Dulu, waktu SMA dan awal kuliah, sama seperti anak yang lain,saya sangat menyukai hal-hal yang berhubungan dengan mobil dengan segala modifikasinya. Sepertinya jaman itu paling keren (at least on my mind) kalo bisa naik mobil semi-ceper, velg racing diameter besar, knalpot racing, audio yang ajeb-ajeb dan ada stiker nama klub mobil tempat kita bergabung tertempel di kaca belakang mobil. Yang ada di pikiran saya adalah sedan item mulus tanpa cutting stiker, kaca film yang ngga terlalu gelap. Pokoknya elegan banget deh! Saya sempat juga merasakan nyetir mobil dengan knalpot dan audio seperti diatas, meskipun tanpa stiker klub mobil.

Tapi ngga tau kenapa dan kapan tepatnya, saya mulai jijik dengan hal-hal begituan. Saya jadi begitu bencinya dengan anak-anak geng mobil, dan selalu komentar “Rich Kids” dengan nada mencibir setiap kali ketemu mobil dengan ciri-ciri seperti diatas. Yang ada dipikiran saya mereka cuman anak orang kaya yang punya duit buat dibuang, yang pikirannya dangkal, yang menyebut sex, drugs dan party sebagai cara bersenang-senang. Mobil yang mereka bawa, meskipun STNK atas nama mereka, tetep aja hasil pemberian orang tua. So that makes yang bayar pajak kendaraan juga orang tua. Bensin yang mereka bakar (meskipun harganya ngga semahal sekarang), belinya juga dengan duit orang tua. Segala modifikasi mobil dan juga aksesoris yang melekat pada tubuh mereka juga tidak didapat dengan hasil keringat mereka. Semuanya masih hasil “mengemis” ke orang tua.

Dengan semua yang sebenarnya bukan milik mereka pribadi, kok bisa ya mereka merasa bangga? Kok bisa ya pamer ke semua orang dengan duit orang tua? What are they thinking gitu lho? Atau memang they don’t have the organ to think?

Saat memasuki dunia kerja, semuanya terasa semakin menjadi. Saat itu saya masih Fresh Graduate yang belum pernah punya pengalaman kerja. Saya datang bekerja dengan baju dan sepatu kerja pemberian orang tua. Naik motor dengan STNK atas nama saya yang juga pemberian orang tua. Orang tua saya memang bukan orang paling kaya di kota kami, tapi merak cukup mampu untuk “melengkapi” anak-anaknya dengan berbagai fasilitas yang layak. Di lingkungan kerja saya, hanya segelintir orang yang berasal dari keluarga berpunya. Sisanya adalah fighter. Dan yang fighter inilah yang membuat saya merasa malu dengan diri saya sendiri. Memang, mereka yang berada disana jauh lebihh senior dari saya, tapi yang saya ambil adalah mereka bisa datang bekerja dengan baju hasil keringat mereka sendiri, dengan motor meskipun bukan model terbaru dan masih mengangsur, setidaknya mereka beli dan angsung tiap bulannya dengan gaji mereka.

Mungkin ini akan terdengar aneh, tapi saya merasa malu karena tidak bisa seperti mereka, tidak pernah merasakan tidak punya uang karena gaji yang pas-pasan seperti mereka. Saya merasa, kalau kita tidak merasakan sulitnya, kita tidak akan bisa bersyukur ketika kita lepas dari kesulitan. Saya merasa dibesarkan di keluarga yang cukup, tapi dengan kecukupan itu yang membuat saya menjadi manusia yang lemah. Saya hanya hidup satu kali dan saya ingin hidup saya lebih berarti untuk diri saya sendiri dulu sebelum berarti buat orang lain. Saya ingin bisa berdiri sendiri tanpa bantuan orang tua , dan siapa tau, if I can stand on my own one day, I could help others to do the same.

No comments: